Minggu, 18 Maret 2012

Naskah kuno

1. Pendahuluan
Secara etimologis naskah dikenal juga dengan istilah manuskrip (bahasa Inggris) manuscript diambil dari ungkapan Latin: codisesmanu scripti (artinya, buku-buku yang ditulis dengan tangan) (Madan, 1893: 1). Kata manu berasal dari manus yang berarti tangan dan scriptusx berasal dari scribere yang berarti menulis (Mamat, 1988: 3). Dalam bahasa-bahasa lain terdapat kata-kata handschrift (Belanda), Handschrift (Jerman), dan manuscrit (Prancis). Dalam berbagai katalogus, kata manuscript dan manuscrit biasanya disingkat menjadi MS untuk bentuk tunggal dan MSS untuk bentuk jamak, sedangkan handschrift dan Handschrifen disingkat menjadi HS dan HSS. Dalam bahasa Malaysia, perkataan naskhah digunakan dengan meluas sebelum perkataan manuskrip (Mamat, 1988: 3). Di dalam bahasa Indonesia, kata naskah jauh lebih banyak dipakai daripada kata manuskrip untuk pengertian codex. Oleh karena kata naskah sudah pendek, sebaiknya kita jangan lagi menyingkat kata ini. (Sri Wulan Rujiati Mulyadi, 1994: 3).
Jadi, naskah atau manuskrip (handschrift, manusscript, manuscriptum) berarti tulisan tangan. Kata naskah dapat juga berarti karangan, surat, dan sebagainya yang masih ditulis dengan tangan; copy, karangan dan sebagainya yang akan dicetak atau diterbitkan. Dulu, pengertian naskah dapat diartikan sebagai karangan-karangan, surat, buku, dan sebagainya yang berupa tulisan tangan. Kini seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, fungsi mesin ketik dan komputer telah menggantikan tulisan tangan. Jadi, naskah kini lebih dipahami sebagai karangan atau teks yang belum dicetak.
Meskipun demikian, kata ‘naskah’ dalam konteks ini lebih dimaksudkan sebagai karya tertulis produk masa lampau sehingga dapat disebutkan sebagai naskah lama (lih. Robson, 1978; Siti Baroroh Baried, dkk., 1994). Dalam pembicaraan di sini, kata “naskah” diikuti juga oleh atribut “lama”. Pemberian atribut ”lama” di sini untuk menandai kejelasan pembatasan konsep ”naskah”. Hal ini didasarkan pada Monumen Ordonasi STBL 238 th 1931 dan Undang-undang Cagar Budaya No. 5 th 1992, yang menyatakan bahwa naskah kuna adalah naskah atau manuskrip yang telah berusia minimal 50 tahun.
Dilihat dalam konteks Indonesia, naskah lama berarti ciptaan yang terwujud dalam bahasa-bahasa yang dipakai di Indonesia pada masa lampau – dan atau terus dipakai pada masa kini. Termasuk di sini karya-karya yang menggunakan bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Bugis, Aceh, Minang dan sebagainya yang tercipta dalam masa lampau. Beraneka macam naskah Indonesia dapat dilihat juga dari bahan yang dipergunakan, yaitu kertas Eropa, daluwang (Kertas Jawa), lontar atau lontara, daun nipah (yang biasanya digunakan untuk naskah-naskah Sunda Kuna), kulit kayu (pustaha) untuk naskah-naskah Batak, dan kulit binatang (Sri Wulan Rujiati Mulyadi, 1994: 44—46). Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan naskah di sini, ialah semua peninggalan tertulis nenek moyang kita pada kertas, lontar, kulit kayu, dan rotan yang telah berusia minimal 50 tahun.
.
2. Sistem Penandaan Waktu dan Usia Naskah
2.1. Sistem Penandaan Waktu Masyarakat Lama
Sejarah menunjukkan bahwa masyarakat lama, tanpa kecuali, belum merasakan perlu dan pentingnya waktu. Waktu akan selalu datang tanpa diminta, matahari akan selalu terbit pada setiap pagi dan terbenam pada waktu petang, dan begitu seterusnya. Orang tidak terburu-buru dalam mempergunakan waktu dan memang tidak ada yang memaksa sesuatu harus dikerjakan dalam kesatuan waktu tertentu.
Walaupun demikian, dalam konteks-konteks tertentu masyarakat lama juga tetap memerlukan adanya suatu kesatuan waktu. Namun, kedekatan masyarakat lama dengan alam sekitar mengakibatkan kesatuan waktu tersebut diberi nama sesuai dengan keadaan alam pada waktu itu, misalnya: waktu matahari terbit, waktu matahari sepenggalan tingginya, waktu tengah hari, waktu rembang petang, waktu tengah malam, dan sebagainya. Bahkan ada juga yang diambil dari keadaan binatang tertentu, misalnya: ”waktu litak-litak anjing”, ialah waktu lapar-laparnya anjing, yaitu sekitar pukul 11:00 WIB. Pada masyarakat Jawa, hal semacam itu pun dapat ditemukan, misalnya: “waktu bang-bang wetan, ialah sewaktu di sebelah timur terdapat warna merah sebelum matahari terbit, “waktu lingsir wetan”, ialah sewaktu matahari condong di sebelah timur, yaitu sekitar pukul 10:00 – 11:00 WIB; “waktu wisan gawe”, ialah waktu orang selesai bekerja, yaitu sekitar pukul 11:00 WIB; “waktu tengange”, ialah sewaktu matahari berada tepat di tengah, yaitu pukul 12:00 WIB; “waktu lingsir kulon”, ialah sewaktu matahari condong si sebelah barat atau sekitar pukul 16:00 WIB; “waktu surup”, ialah sewaktu matahari terbenam; “waktu sirep bocah”, ialah waktu sudah tidak terdengar lagi suara anak-anak atau sekitar pukul 22:00 WIB; “waktu tengah wengi” ialah sewaktu tengah malam; “waktu lingsir wengi” ialah waktu lewat tengah malam, dan sebagainya (Asdi. S. Dipodjojo, 1996: 2).
Dalam perjalanan hidupnya, suatu masyarakat ada kalanya mengalami suatu peristiwa yang sangat penting. Peristiwa itu oleh masyarakat yang bersangkutan selalu disebut-sebut dan untuk membedakannya dengan peristiwa lain, maka ditandai dengan keadaan pada waktu peristiwa tersebut terjadi. Misalnya: kelahiran Yesus di Bethlehem dinyatakan bertepatan dengan pesta perayaan Natalis Solis Invitcti, ialah perayaan agung kelahiran Matahari Yang Tidak Terkalahkan (Ensiklopedia Indonesia 4, hlm. 2341); peristiwa kelahiran Nabi Muhammad. s.a.w. dinyatakan pada Tahun Gajah, karena bertepatan dengan peristiwa diserangnya Makkah oleh pasukan gajah, di bawah pimpinan Abrahah, gubernur Abesinia, yang berkedudukan di Yaman (Leksikon Islam 2, hlm. 702). Pernyataan penggambaran kesatuan waktu dalam masyarakat tersebut, baik mengenai kesatuan waktu biasa maupun kesatuan waktu penunjuk peristiwa, terutama bila terdapat pada suatu naskah lama tentunya akan menyulitkan bagi pembaca sekarang yang sudah tidak mengenal lagi sistem penandaan waktu seperti itu.
.
2.2. Masuknya Penanda Waktu pada Naskah Lama
Sejak terjadinya hubungan dengan bangsa India, bangsa Indonesia mulai mengenal model perhitungan tahun Çaka, khususnya masyarakat Jawa dan Bali. Tahun Çaka sebenarnya dimulai sejak kelahiran raja di negeri Dekan, India Selatan, bernama Çaliwahana. Permulaan tahun Çaka itu tepatnya terjadi pada Sabtu, 14 Maret 78 AD (Anno Domini atau tahun Masehi), dan sejak saat itulah ditentukan sebagai tahun 1 Çaka. Tahun Çaka ini mengikuti perhitungan peredaran matahari (Asdi. S. Dipodjojo, 1996: 2). Penggunaan tahun Çaka biasanya dapat ditemui pada naskah-naskah Jawa Kuno dan naskah-naskah Bali.
Dengan masuknya agama Islam, masyarakat Indonesia mengenal sistem perhitungan waktu Hijriah. Tahun Hijriah ini dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad s.a.w. atau peristiwa menghindarnya Nabi dari gangguan musuhnya di Makkah kemudian menuju ke Madinah. Peristiwa hijrah ini sangat penting dalam sejarah perkembangan agama Islam selanjutnya. Oleh karena itu, peristiwa hijrah tersebut dijadikan awal perhitungan tahun Islam, yang dikenal dengan istilah Tahun Hijriah (A.H. atau Anno Hijirae). Nabi Muhammad tiba di Madinah pada 22 September 622 AD, bertepatan pula dengan 12 Rabiul-Awwal 1 AH. Adapun permulaan 1 AH itu adalah 1 Muharram, bertepatan dengan 16 Juli 622 AD (Glassē, 1999: 133 – 134). Perhitungan tahun Hijriah ini dipakai di kalangan masyarakat Indonesia dan tertera juga dalam naskah-naskah lama, khususnya naskah Melayu .
Dalam perkembangan selanjutnya, karena pengaruh agama Islam semakin kuat, maka pada zaman Sultan Agung, raja Mataram, yang memerintah tahun 1613 – 1645 AD, memadukan tahun Çaka dengan tahun Hijriah. Perpaduan kedua tahun itu dikenal dengan tahun Jawa (A.J. atau Anno Javanico). Peristiwa perpaduan itu secara resmi berlaku di kerajaan Jawa pada tahun 1555 Ç lalu menjadi tahun 1555 A.J. Karena tahun Hijriah itu mengikuti perhitungan peredaran bulan (qomariyah), sedangkan tahun Çaka mengikuti perhitungan matahari (syamsiyah), maka tahun Jawa akan lebih pendek 11 hari daripada tahun Çaka. Tahun Jawa itu sampai sekarang tetap dipakai di kalangan kerajaan Jawa dan masyarakat yang dengan sendirinya terpakai juga dalam naskah-naskah Jawa (Asdi. S. Dipodjojo, 1996: 3 – 4).
Dengan terjadinya interaksi dengan bangsa Eropa atau Barat, terutama pada masa-masa penjajahan maka bangsa Indonesia juga memperoleh perhitungan tahun Masehi yang dalam kegiatan pemakaiannya ditandai dengan A.D. (Anno Domini) atau juga sering ditandai dengan C.E. (Christian Era; Common Era). Tahun Masehi ini mengikuti perhitungan peredaran matahari, yang dalam satu tahun ada 365 hari, 5 jam, 48 menit, 46 detik kurang sedikit, atau biasa dikatakan 365¼ hari kurang sedikit. Karenanya, setiap empat tahun Masehi ada satu tahun kabisat yang dalam tahun kabisat itu berumur 366 hari. Tambahan satu hari itu dijatuhkan dalam bulan Februari (Asdi. S. Dipodjojo, 1996: 4).
.
2.3. Beberapa Cara dalam Memperkirakan Umur Naskah
Keingintahuan peneliti terhadap umur suatu naskah terkadang tidak dapat terlaksana atau mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan minimnya atau bahkan tidak ditemukannya data yang dapat digunakan sebagai landasan untuk memperkirakan umur suatu naskah. Bila upaya tersebut tetap dilakukan, akhirnya perkiraan umur naskah tidak dapat bersifat mutlak, artinya perkiraan tersebut tidak dapat menunjukkan tanggal, bulan dan tahun tertentu, tetapi hanya bersifat kurang lebih. Bahkan ada kalanya perkiraan umur naskah pada penelitian awal tersebut mungkin juga berubah apabila di kemudian hari diketemukan data-data lain yang lebih kuat dan meyakinkan.
Beberapa cara untuk memperkirakan umur suatu naskah adalah interne evidensi dan externe evidensi.
2.3.1. Interne Evidentie
Interne evidentie adalah usaha memperkirakan umur suatu naskah dengan cara memanfaatkan data yang terdapat dalam naskah itu sendiri. Data tersebut diasumsikan dapat memberi kejelasan serta keyakinan pada peneliti sehingga dapat dipergunakan dalam upaya menentukan umur suatu naskah (bdk. Asdi. S. Dipodjojo, 1996: 8 – 9; Siti Baroroh Baried, dkk., 1994: 60 – 61).
Ada kalanya penulis atau penyalin memberi catatan pada akhir teks mengenai bilamana dan di mana teks itu selesai disalin atau dalam filologi lebih dikenal dengan istilah “kolofon”. Apabila kolofon tidak diketemukan, maka kertas (terutama yang merupakan hasil produksi pabrik-pabrik di Eropa) yang digunakan sebagai bahan naskah sering memperlihatkan tanda atau lambang pabrik pembuat kertas tersebut. Tanda itu disebut dengan istilah “cap air” atau watermark. Dengan memakai daftar cap, dapat diketahui pada tahun berapa kertas itu dibuat. Kertas didatangkan dari Eropa, kemudian segera dipakai karena persediaan terbatas. Jadi, umur naskah dapat diperkirakan tidak jauh berbeda dari umur kertas (Siti Baroroh Baroroh, dkk., 1994: 61).
Seperti telah diketahui bahwa kertas menjadi bagian dari budaya Eropa melalui perjalanan sejarah yang panjang. Terlepas dari pro – kontra tentang penemu kertas, tetapi sejarah telah mencatat Ts’ai Lun mempersembahkan kertas hasil ciptaannya pada Kaisar Ho Ti pada tahun 105 Masehi. Hal ini membuat gembira hati kaisar sehingga ia dianugerahi gelar kebangsawanan (lih. Hart, 1990: 62; Bani Sudardi, 2003: 91 – 92). Kertas ciptaan Ts’ai Lun ini dibuat dari bahan bambu yang mudah didapat di seantero Cina. Baru pada tahun 600 sesudah Masehi, pembuatan kertas mencapai Korea, dan baru sekitar 15 tahun kemudian sampai ke Jepang seiring dengan menyebarnya bangsa-bangsa Cina ke timur dan berkembangnya peradaban di kawasan itu meskipun pada awalnya cara pembuatan kertas merupakan hal yang sangat rahasia.
Pada akhirnya, teknik pembuatan kertas tersebut jatuh ke tangan orang-orang Arab pada masa Abbasiyah terutama setelah kalahnya pasukan Dinasti Tang dalam Pertempuran Sungai Talas pada tahun 751 Masehi. Selama perang di sepanjang perbatasan Turkistan, sejumlah pembuat kertas bangsa Cina tertangkap dan dipaksa untuk membuka rahasia profesinya. kepada orang-orang Arab sehingga di zaman Abbasiyah, muncullah pusat-pusat industri kertas baik di Baghdad maupun Samarkand. Kemudian Samarkand menjadi wilayah pembuat kertas karena mendapat pengetahuan baru yang diperolehnya serta didukung kondisi alamiah yang cocok untuk pembuatan kertas. Berangsur-angsur para ahli pembuat kertas pindah ke Timur, ke arah Damaskus kemudian ke Mesir dan Maroko, dan kota-kota industri lainnya, kemudian menyebar ke Italia dan India. Eropa memperoleh pengetahuan tentang pembuatan kertas agak terlambat, yaitu pada abad ke 12 atau ke 13 melalui Itali dan Spanyol khususnya setelah Perang Salib dan jatuhnya Grenada dari bangsa Moor ke tangan orang-orang Spanyol (lih. Hart, 1990: 63; Bani Sudardi, 2003: 91).
Sekitar abad ke 12 orang Spanyol membuat kertas di Valencia, kemudian menyebar ke Perancis, dengan pabrik pertama didirikan di Troyes. Akhirnya keterampilan membuat kertas sampai di Inggris pada akhir abad ke 15. Pada awalnya, kertas-kertas Eropa dibuat dari rongsokan linen dan kapas seperti sekarang ini, ketebalan dan kekasaran lembaran menuntut perekatan dengan selatin dari binatang, sebelum kertas tersebut dapat menerima tinta dari pena bulu angsa. Kemudian Johann Gutenberg menggunakan press cetak untuk menyesuaikan permukaan kertas ukuran Eropa yang keras dan kenyal.
Salah satu dokumen yang pertama kali diketemukan, menunjukkan bahwa pembuatan kertas di Itali berlangsung pada akhir abad ke 13 dan dibuat di pabrik Fabriano, yang saat ini masih berproduksi. Pabrik di Fabriano merupakan tempat yang penting karena menghasilkan kertas dengan kaulitas bagus dan tidak seperti kertas biasa pada waktu itu karena diberi bahan perekat dari kulit binatang. Hasil pembuatan pabrik tersebut permukaannya sangat halus dan bagus untuk menulis dan menggambar.
Pemakaian lem dari kulit binatang pada kertas menyebabkan kertas tersebut sebagai suatu pengganti dari parchment dan vellum. Teknik dari pabrik tersebut segera ditiru oleh pabrik-pabrik kertas di seluruh Eropa. Di Perancis, ada sebuah legenda bahwa pada tahun 1147, seorang warga negara Perancis bernama Jean Montgolfier telah dipenjara selama Perang Salib ke 2 dan dijatuhi hukuman kerja paksa selama 3 tahun di sebuah pabrik kertas di Damascus. Di sana ia belajar membuat kertas sehingga sepulangnya ke Perancis, sanggup mendirikan pabrik kertasnya sendiri. Selama 200 tahun berikutnya, maka pabrik-pabrik kertas berkembang di Perancis selama beberapa dasawarsa. Di sana terdapat bukti bahwa pabrik-pabrik kertas telah menghasilkan barang-barang kertas di Cologne dan Mainz, Jerman pada tahun 1320. Hal itu terdapat dalam catatan harian dari pembuat kertas Nuremberg, Ulman Stromer yang telah membuat dokumen bahwa Stromer telah membangun pabrik dan melengkapinya pada tahun 1390. Pabrik Stromer yang terletak dekat kota Nuremberg merupakan pabrik kertas pertama yang digambar dalam sebuah buku yang dipublikasikan dalam: Hartmann Schedel’s Nuremberg Chronicle of 1493.
Pembuatan kertas menjadi suatu kerajinan yang mapan di Belanda selama akhir abad ke 16. Perang delapan puluh tahun masih berlangsung kemudian dan ikatan-ikatan dengan pusat-pusat pembuatan kertas Perancis telah menjadi hancur pada tahun sebelum jatuhnya Antwerpen oleh Spanyol. Hal ini menimbulkan suatu migrasi ke Utara, dari Antwerpen (Pusat kertas terbesar yang dikuasai Austria) pindah ke Amsterdam. Pada akhir abad tersebut Amsterdam menjadi pusat produksi kertas dan perdagangan Internasional. Dari sinilah kemudian produksi kertas meluas ke Eropa dan menjadi terkenal (lih. Churchill, 1965: 5; Bani Sudardi, 2003: 91 – 92). Selain itu, penemuan alat Hollander beater, sebuah alat yang dipakai untuk merendam dan menyiapkan bubur kertas pada abad ke 17, maka pembuatan kertas menjadi industri utama, dan Belanda menjadi terkenal karena kertas-kertas putihnya yang bagus dan halus. Saat ini Perusahaan Kertas Van Gelder masih terus beroperasi dengan menggunakan pabrik kertas yang bertenaga angin (wind-driven paper mill). Pabrik tersebut terletak di Westzaan dan dibangun pada tahun 1692.
Kertas produksi Eropa yang kemudian menyebar ke daerah-daerah jajahan Eropa mempunyai ciri yang tidak ditemukan pada kertas Cina dan Arab. Kertas Eropa memiliki watermark. Kertas tertua yang memiliki watermark berasal dari tahun 1346 yang saat itu sudah ditemukan 271 model watermark yang berasal dari Italia, Perancis, Swzitzerland dan Jerman. Hal ini menunjukkan sudah beragamnya jenis kertas yang diproduksi (lih. Churchill, 1965: 6; Bani Sudardi, 2003: 92).
Terkait dengan isi naskah, terkadang ada juga beberapa peristiwa sejarah yang disebut-sebut dalam teks yang dapat digunakan sebagai petunjuk dalam memperkirakan umur naskah. Misalnya Hikayat Hang Tuah (selanjutnya disingkat HHT). HHT sangat terkenal di kalangan masyarakat Melayu, baik orang malaysia maupun orang Indonesia. HHT dimulai dengan menceritakan asal-usul raja Malaka. Cerita dilanjutkan dengan asal-usul Hang Tuah dan diterimanya sebagai hamba raja. Kesetiaannya sangat tinggi sehingga dalam waktu singkat Hang Tuah menjadi kepercayaan raja. Beberapa kali ia berhasil melaksanakan tugas raja dengan baik, di antaranya: berhasil meminang Tun Teja, menjadi utusan ke Majapahit, Keling, Cina, Siam, Rum sehingga terjalin hubungan antara Malaka dan negara-negara tetangga, baik yang dekat maupun yang jauh. Karena dekatnya dengan raja, banyak para pengawal raja yang iri, dan timbullah fitnah terhadap Hang Tuah, yang mengakibatkan ia mendapat hukuman raja. Akan tetapi Hang Tuah dapat diselamatkan oleh Bendahara. Dalam hikayat ini terjadi peristiwa yang mengenaskan yaitu perang tanding antara dua sahabat karib yang semula sama-sama setia dan berbakti kepada raja. Karena seorang berbuat durhaka, maka Hang Jebat dibunuh oleh Hang Tuah. Hikayat diakhiri dengan datangnya Peringgi di Malaka, yang akhirnya orang Peringgi itu dikalahkan oleh orang Belanda dengan bantuan orang Malaka.
HHT memuat peristiwa dikalahkannya Portugis oleh Belanda pada tahun 1641. Hal ini berarti bahwa naskah yang memuat peristiwa tersebut ditulis sesudah tahun 1641, tetapi sebelum tahun 1726 karena pada tahun tersebut Hikayat Hang Tuah telah disebutkan dalam Oud en Nieuw Oost Indien karangan François Valentijn (1726). Dengan demikian, perkiraan waktu penulisan paling awal (terminus a quo) dapat ditentukan pada 1641 dan waktu penulisan paling akhir (terminus ad quem) pada 1726 (lih. Sulastin Sutrisno,1979; Siti Baroroh Baried, dkk., 1994: 61; Asdi. S. Dipodjojo, 1986: 12).
2.3.2. Externe Evidentie
Adapun externe evidentie adalah usaha memperkirakan umur suatu naskah dengan cara memanfaatkan data dari luar naskah yang memberi kejelasan dan keyakinan pada peneliti sehingga dapat membantu dalam upaya penentuan umur suatu naskah (bdk. Dipodjojo, 1996: 8 – 9; Siti Baroroh Baried, dkk., 1994: 60 – 61).
Selain itu, perlu diperhatikan pula catatan-catatan di sampul luar, sampul kertas depan dan belakang naskah, serta ciri-ciri lain yang dapat memberi keterangan tentang umur naskah. Demikian pula asal mula naskah menjadi milik berbagai perpustakaan dapat memberi petunjuk dalam memperkirakan penanggalan tentatif (Siti Baroroh Baroroh, dkk., 1994: 61).
Contoh pemanfaatan externe evidentie dapat dijumpai pada naskah Tuhfah ar-Rāghibīn (Ml. 719 dari W. 37). Keberadaan naskah ini relatif tua, yaitu pada sekitar abad ke-18. Hal ini didasarkan pada keterangan yang terdapat dalam naskah (interne evidentie), yang menyebutkan angka tahun selesainya naskah ini disalin. Adapun kutipannya adalah sebagai berikut.
Adapun kemudian dari itu maka tatkala adalah bagi segala tahun hijrah nabi / atas yang empunya dia sebelah-sebelah rahmat Allah dan suci-suci haluannya seribu sera / tus dua lapan tahun.” (Ml. 719 dari W. 37).
Namun, jika data ini dikaitkan dengan keterangan yang terdapat dalam Tarikh Salasilah Negri Kedah (selanjutnya disingkat TSNK), tentu akan terjadi hal yang membingungkan. Karena berdasarkan keterangan TSNK, ’Abdus-Samad al-Palimbani, selaku penulis Tuhfah ar-Rāghibīn, lahir pada tahun 1116 H. Jadi, sangatlah tidak mungkin apabila ’Abdus-Samad al-Palimbani mampu menghasilkan sebuah karya besar dalam usia 12 tahun. Asumsi yang lebih rasional adalah al-Palimbani menulis karya tersebut pada tahun 1188 H. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Dr. M. Chatib Quzwain (1985), yang menyatakan bahwa karya tersebut ditulis oleh al-Palimbani pada tahun 1188 H atau 1774 M (externe evedentie).
Hasil penelitian tersebut dikemukakan setelah Dr. M. Chatib Quzwain (1985) mencermati naskah Tuhfah ar-Rāghibīn yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta dan di Universiteits-Bibliotheek Leiden. Pada halaman muka naskah yang tersimpan di Leiden terdapat tulisan ”Van Doorninck 1876”; dan ditemukan juga beberapa catatan yang diberikan oleh P. Voorhoeve, seperti nama penulis tidak disebutkan, tetapi banyak indikasi yang menguatkan bahwa penulis naskah ini adalah ’Abdus-Samad al-Palimbani, yaitu:
a. mengenai penanggalan: ’Abdus-Samad, biasanya memberikan keterangan penanggalan dalam setiap tulisannya. Penanggalan yang diberikan berkisar antara 1178 – 1203 H.
b. antara 1873 – 1875 M. F. N. Van Doorninck ditempatkan di Palembang sebagai pejabat sipil; kemudian berlibur ke Eropa.
c. dalam naskah ini ada satu catatan pinggir dalam bahasa Jawa.
d. kata ”sanggar” digunakan untuk sesajen syirik; dalam bahasa Melayu Kuna memang demikian, tetapi tidak demikian artinya dalam bahasa Jawa. Perlu juga dikemukakan bahwa pada sekitar 1774 M praktek syirik yang tercela itu mungkin terdapat di daerah pedalaman Palembang.
e. Dalam naskah Jakarta (Ml. 719 V.d.W. 37) terdapat satu halaman mengenai perang suci, suatu hal yang merupakan spesialisasi ’Abdus-Samad (lih. Asep Yudha Wirajaya, 1998: 26 – 29).
Contoh yang lain dapat ditemukan pada naskah Serat Panji Jayalengkara (L. 170) yang tersimpan pada perpustakaan Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Pada halaman depan terdapat catatan dengan tinta berhuruf Latin (naskah itu sendiri bertuliskan huruf Jawa), kemudian diulang lagi dengan huruf Jawa, berbunyi: ”Ini buku nyang djoeal babah Oey Tek Nyi Jioe Te Kian tanggal 25 Joney taoen 1881 tertinggal di Kampoeng Kangrasan”. Dengan membaca catatan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa naskah itu ditulis sebelum tahun yang ada pada lembar catatan terebut (Asdi. S. Dipodjojo, 1996: 13).
Selain itu, ada naskah Kakawin Arjunawiwaha (selanjutnya disingkat KA) gubahan Empu Kanwa. Karya tersebut merupakan titik awal sastra kakawin periode Jawa Timur. Pada dasarnya KA itu terdiri atas tiga bagian yang tersusun secara seimbang. Bagian pertama menceritakan tapa Arjuna dengan tujuan untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang ksatria dan untuk dapat membantu kakaknya, Yudhistira, dalam rangka merebut kembali tahta kerajaan demi kesejahteraan dunia pada umumnya. Bagian kedua menceritakan peranan Arjuna dalam mengalahkan Niwatakawaca, seorang raksasa yang tak terkalahkan oleh para dewa sekali pun, yang bermaksud menghancurkan surga kerajaan dewa Indra. Bagian ketiga menggambarkan penganugerahan dewa kepada Arjuna yang berhasil menyelamatkan keinderaan dari serangan Niwatakawaca dengan dinobatkannya menjadi raja dan bersemayam di atas tahta dewa Indra dan perkawinan Arjuna dengan Suprabha, Tilottama dan lima bidadari lainnya. Setelah tujuh bulan Arjuna bersemayam di keindraan, ia mohon diri untuk kembali ke bumi bersatu dengan saudara-saudaranya.
Dalam KA itu sama sekali tidak diketemukan penanda waktu naskah tersebut disalin atau ditulis. Hanya pada bagian akhir (kolofon), pada Pupuh XXXVI, bait 2 ditemukan suatu petunjuk sebagai berikut.
sampun keketaning katharjuna-wiwaha pangarahanike,
saksat tambariya mpu kanwa tumatametu-metu kakawin,
bhrantapan teher angharep samarakaryya mangiringing aji,
çri airlanggha namostu sang panikelan tanah panganumata.”
Adapun arti bait itu adalah sebagai berikut.
”telah selesainya penulisan cerita yang dinamakan Arjunawiwaha,
karangan ini betul-betul merupakan karya Kanwa yang pertama kali menyusun sebuah kakawin.
ia sesungguhnya tidak tenang dan gelisah, karena ia akan menyertai raja untuk pergi berperang.
terpujilah Sri Baginda Airlangga yang berhasil menjadikan kerajaan dua kali lebih besar dan merestuinya dan menyatakan kakawin itu baik.”
Pada bait terakhir yang merupakan kolofon Arjuna wiwaha itu terdapat suatu data yang menyebutkan nama raja Airlangga, yang melindungi dan merestui penyair. Dari data dalam naskah itu sebagai interne evidentie sedangkan peneliti dapat mencocokkannya dengan data dari luar naskah (externe evidentie) tentang sejarah raja Airlangga.
Dalam sejarah, orang dapat mengetahui bahwa Airlangga termasuk wangsa Sindok, pendiri kerajaan Jawa Timur, karena ibunya adalah cucu raja Sindok. Raja Sindok diganti oleh raja Dharmawangsa Teguh Anantawikrama yang memerintah dari tahun 991 sampai 1016 A.D. Kerajaannya berakhir karena diserang oleh raja Wura-wari. Setelah melalui berbagai perjuangan akhirnya pada tahun 1019 A.D. Airlangga dinobatkan menjadi raja penerus wangsa Sindok. Perjuangannya bertujuan mengembalikan kesatuan dan kedaulatan wangsa Sindok sehingga berhasil menaklukkan seluruh Jawa, kecuali Pasundan. Maklumatnya yang terakhir terdapat pada ”batu Calcutta”, tahun 1042 A.D. Kapan Airlangga meninggal, sebuah sumber tidak dapat menyatakan dengan tegas, tetapi sumber yang lain menyebutkan bahwa Airlangga meninggal sekitar tahun 1049 A.D.
Dari bait terakhir KA orang dapat mengetahui bahwa kakawin itu dikarang pada zaman pemerintahan Airlangga sehingga orang dapat memperkirakan waktu penulisan naskah tersebut yaitu antara tahun 1019 A.D. sampai sebelum tahun 1049 A.D. Perkiraan waktu itu dapat dipersempit dengan adanya data dalam bait tersebut yang mengungkapkan: angharep semarakarya, yang dapat diterjemahkan: ”berniat untuk maju perang” (Kern dalam Asdi S. Dipodjojo, 1996: 9 – 11), atau diartikan ”akan (menemani raja) dalam berperang” (Poerbatjaraka dalam Kern dalam Asdi S. Dipodjojo, 1996: 11). Pernyataan itu menunjukkan bahwa kakawin itu dikarang sewaktu raja sedang giat dalam usaha ekspedisi militer, yang dalam sejarah diperkirakan antara tahun 1028 – 1035 A.D. (Zoetmulder, 1983: 308).
3. Kesimpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, sejak terjadinya hubungan dengan bangsa India, bangsa Indonesia mulai mengenal model perhitungan tahun Çaka, khususnya masyarakat Jawa dan Bali. Tahun Çaka ini mengikuti perhitungan peredaran matahari dan penggunaannya dapat ditemui pada naskah-naskah Jawa Kuno dan Bali. Masuknya agama Islam, membuat masyarakat Indonesia mengenal sistem perhitungan waktu Hijriah. Perhitungan tahun Hijriah ini dipakai di kalangan masyarakat Indonesia dan tertera juga dalam naskah-naskah lama, khususnya naskah Melayu.
Kedua, kuatnya pengaruh agama Islam pada zaman Sultan Agung, membuat raja Mataram (1613 – 1645 AD) tersebut memadukan tahun Çaka dengan tahun Hijriah. Perpaduan kedua tahun itu dikenal dengan tahun Jawa (A.J. atau Anno Javanico). Peristiwa perpaduan itu secara resmi berlaku di kerajaan Jawa pada tahun 1555 Ç lalu menjadi tahun 1555 A.J. Karena tahun Hijriah itu mengikuti perhitungan peredaran bulan (qomariyah), sedangkan tahun Çaka mengikuti perhitungan matahari (syamsiyah), maka tahun Jawa akan lebih pendek 11 hari daripada tahun Çaka. Tahun Jawa itu sampai sekarang tetap dipakai di kalangan kerajaan Jawa dan masyarakat yang dengan sendirinya terpakai juga dalam naskah-naskah Jawa.
Ketiga, interaksi dengan bangsa Eropa atau Barat, terutama pada masa-masa penjajahan membuat bangsa Indonesia memperoleh perhitungan tahun Masehi yang ditandai dengan A.D. (Anno Domini) atau juga sering ditandai dengan C.E. (Christian Era; Common Era). Tahun Masehi ini mengikuti perhitungan peredaran matahari, yang dalam satu tahun ada 365 hari, 5 jam, 48 menit, 46 detik kurang sedikit, atau biasa dikatakan 365¼ hari kurang sedikit. Karenanya, setiap empat tahun Masehi ada satu tahun kabisat yang dalam tahun kabisat itu berumur 366 hari. Tambahan satu hari itu dijatuhkan dalam bulan Februari.
Keempat, cara untuk memperkirakan umur suatu naskah adalah interne evidensi dan externe evidensi. Interne evidentie adalah usaha memperkirakan umur suatu naskah dengan cara memanfaatkan data yang terdapat dalam naskah itu sendiri sedangkan externe evidentie adalah upaya memanfaatkan data dari luar naskah untuk menentukan umur naskah. Terkadang keingintahuan peneliti terhadap umur suatu naskah tidak dapat terlaksana atau mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan minimnya atau bahkan tidak ditemukannya data yang dapat digunakan sebagai landasan untuk memperkirakan umur suatu naskah. Bila upaya tersebut tetap dilakukan, akhirnya perkiraan umur naskah tidak dapat bersifat mutlak, artinya perkiraan tersebut tidak dapat menunjukkan tanggal, bulan dan tahun tertentu, tetapi hanya bersifat kurang lebih. Perkiraan waktu penulisan paling awal disebut dengan istilah terminus a quo sedangkan perkiraan waktu penulisan paling akhir disebut dengan istilah terminus ad quem. Bahkan ada kalanya perkiraan umur naskah pada penelitian awal tersebut mungkin juga berubah apabila di kemudian hari diketemukan data-data lain yang lebih kuat dan meyakinkan

Sistem Penandaan Waktu dan Usia Naskah

·         Sistem Penandaan Waktu Masyarakat Lama
Sejarah menunjukkan bahwa masyarakat lama, tanpa kecuali, belum merasakan perlu dan pentingnya waktu. Waktu akan selalu datang tanpa diminta, matahari akan selalu terbit pada setiap pagi dan terbenam pada waktu petang, dan begitu seterusnya. Orang tidak terburu-buru dalam mempergunakan waktu dan memang tidak ada yang memaksa sesuatu harus dikerjakan dalam kesatuan waktu tertentu.
Walaupun demikian, dalam konteks-konteks tertentu masyarakat lama juga tetap memerlukan adanya suatu kesatuan waktu. Namun, kedekatan masyarakat lama dengan alam sekitar mengakibatkan kesatuan waktu tersebut diberi nama sesuai dengan keadaan alam pada waktu itu, misalnya: waktu matahari terbit, waktu matahari sepenggalan tingginya, waktu tengah hari, waktu rembang petang, waktu tengah malam, dan sebagainya. Bahkan ada juga yang diambil dari keadaan binatang tertentu, misalnya: ”waktu litak-litak anjing”, ialah waktu lapar-laparnya anjing, yaitu sekitar pukul 11:00 WIB. Pada masyarakat Jawa, hal semacam itu pun dapat ditemukan, misalnya: “waktu bang-bang wetan, ialah sewaktu di sebelah timur terdapat warna merah sebelum matahari terbit, “waktu lingsir wetan”, ialah sewaktu matahari condong di sebelah timur, yaitu sekitar pukul 10:00 – 11:00 WIB; “waktu wisan gawe”, ialah waktu orang selesai bekerja, yaitu sekitar pukul 11:00 WIB; “waktu tengange”, ialah sewaktu matahari berada tepat di tengah, yaitu pukul 12:00 WIB; “waktu lingsir kulon”, ialah sewaktu matahari condong si sebelah barat atau sekitar pukul 16:00 WIB; “waktu surup”, ialah sewaktu matahari terbenam; “waktu sirep bocah”, ialah waktu sudah tidak terdengar lagi suara anak-anak atau sekitar pukul 22:00 WIB; “waktu tengah wengi” ialah sewaktu tengah malam; “waktu lingsir wengi” ialah waktu lewat tengah malam, dan sebagainya (Asdi. S. Dipodjojo, 1996: 2).
Dalam perjalanan hidupnya, suatu masyarakat ada kalanya mengalami suatu peristiwa yang sangat penting. Peristiwa itu oleh masyarakat yang bersangkutan selalu disebut-sebut dan untuk membedakannya dengan peristiwa lain, maka ditandai dengan keadaan pada waktu peristiwa tersebut terjadi. Misalnya: kelahiran Yesus di Bethlehem dinyatakan bertepatan dengan pesta perayaan Natalis Solis Invitcti, ialah perayaan agung kelahiran Matahari Yang Tidak Terkalahkan (Ensiklopedia Indonesia 4, hlm. 2341); peristiwa kelahiran Nabi Muhammad. s.a.w. dinyatakan pada Tahun Gajah, karena bertepatan dengan peristiwa diserangnya Makkah oleh pasukan gajah, di bawah pimpinan Abrahah, gubernur Abesinia, yang berkedudukan di Yaman (Leksikon Islam 2, hlm. 702). Pernyataan penggambaran kesatuan waktu dalam masyarakat tersebut, baik mengenai kesatuan waktu biasa maupun kesatuan waktu penunjuk peristiwa, terutama bila terdapat pada suatu naskah lama tentunya akan menyulitkan bagi pembaca sekarang yang sudah tidak mengenal lagi sistem penandaan waktu seperti itu.
.
·         Masuknya Penanda Waktu pada Naskah Lama
Sejak terjadinya hubungan dengan bangsa India, bangsa Indonesia mulai mengenal model perhitungan tahun Çaka, khususnya masyarakat Jawa dan Bali. Tahun Çaka sebenarnya dimulai sejak kelahiran raja di negeri Dekan, India Selatan, bernama Çaliwahana. Permulaan tahun Çaka itu tepatnya terjadi pada Sabtu, 14 Maret 78 AD (Anno Domini atau tahun Masehi), dan sejak saat itulah ditentukan sebagai tahun 1 Çaka. Tahun Çaka ini mengikuti perhitungan peredaran matahari (Asdi. S. Dipodjojo, 1996: 2). Penggunaan tahun Çaka biasanya dapat ditemui pada naskah-naskah Jawa Kuno dan naskah-naskah Bali.
Dengan masuknya agama Islam, masyarakat Indonesia mengenal sistem perhitungan waktu Hijriah. Tahun Hijriah ini dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad s.a.w. atau peristiwa menghindarnya Nabi dari gangguan musuhnya di Makkah kemudian menuju ke Madinah. Peristiwa hijrah ini sangat penting dalam sejarah perkembangan agama Islam selanjutnya. Oleh karena itu, peristiwa hijrah tersebut dijadikan awal perhitungan tahun Islam, yang dikenal dengan istilah Tahun Hijriah (A.H. atau Anno Hijirae). Nabi Muhammad tiba di Madinah pada 22 September 622 AD, bertepatan pula dengan 12 Rabiul-Awwal 1 AH. Adapun permulaan 1 AH itu adalah 1 Muharram, bertepatan dengan 16 Juli 622 AD (Glassē, 1999: 133 – 134). Perhitungan tahun Hijriah ini dipakai di kalangan masyarakat Indonesia dan tertera juga dalam naskah-naskah lama, khususnya naskah Melayu .
Dalam perkembangan selanjutnya, karena pengaruh agama Islam semakin kuat, maka pada zaman Sultan Agung, raja Mataram, yang memerintah tahun 1613 – 1645 AD, memadukan tahun Çaka dengan tahun Hijriah. Perpaduan kedua tahun itu dikenal dengan tahun Jawa (A.J. atau Anno Javanico). Peristiwa perpaduan itu secara resmi berlaku di kerajaan Jawa pada tahun 1555 Ç lalu menjadi tahun 1555 A.J. Karena tahun Hijriah itu mengikuti perhitungan peredaran bulan (qomariyah), sedangkan tahun Çaka mengikuti perhitungan matahari (syamsiyah), maka tahun Jawa akan lebih pendek 11 hari daripada tahun Çaka. Tahun Jawa itu sampai sekarang tetap dipakai di kalangan kerajaan Jawa dan masyarakat yang dengan sendirinya terpakai juga dalam naskah-naskah Jawa (Asdi. S. Dipodjojo, 1996: 3 – 4).
Dengan terjadinya interaksi dengan bangsa Eropa atau Barat, terutama pada masa-masa penjajahan maka bangsa Indonesia juga memperoleh perhitungan tahun Masehi yang dalam kegiatan pemakaiannya ditandai dengan A.D. (Anno Domini) atau juga sering ditandai dengan C.E. (Christian Era; Common Era). Tahun Masehi ini mengikuti perhitungan peredaran matahari, yang dalam satu tahun ada 365 hari, 5 jam, 48 menit, 46 detik kurang sedikit, atau biasa dikatakan 365¼ hari kurang sedikit. Karenanya, setiap empat tahun Masehi ada satu tahun kabisat yang dalam tahun kabisat itu berumur 366 hari. Tambahan satu hari itu dijatuhkan dalam bulan Februari (Asdi. S. Dipodjojo, 1996: 4).
.
·          Beberapa Cara dalam Memperkirakan Umur Naskah
Beberapa cara untuk memperkirakan umur suatu naskah adalah interne evidensi dan externe evidensi.
·         Interne Evidentie
·         Externe Evidentie
Sumber : Jawa Pos ( Gagasan ) Selasa, 22 Desember 2009